Polemik Gedung KPK
By:
Firman Jamal
(Mahasiswa Jurusan Pendidikan
Bahasa Inggris UIN Alauddin Makassar)
Kisruh politik di Indonesia kembali
memanas, hal ini dipicu oleh pengadaan gedung baru KPK yang belum dikabulkan
oleh komisi III DPR. Kondisi ini semakin dilematis karena berbagai macam elemen
masyarakat bersatu untuk mengumpulkan
dana untuk membantu pembangunan gedung baru sebagai impact atas tindakan tak
pasti DPR namun di sisi lain DPR juga beralasan bahwa menentukan pengucuran
dana tidak dapat dilakukan begitu saja, harus ada prosesi yang harus dilalui
berdasarkan konstitusi yang berlaku. Salah satunya adalah meminta kepada KPK
untuk mencari gedung milik negara yang sudah tidak terpakai untuk direnovasi.
Kita tidak akan membahas apakah KPK
sudah menemukan gedung yang dimaksud namun kita akan merambah kepada ranah yang
lebih spesifik yaitu adanya kesatuan masyarakat dari berbagai elemen yang
bereaksi secara langsung akan kisruh ini. Munculnya ikon ikon “Koin KPK untuk
Reformasi” dan sejenisnya mengingatkan kita akan tragedy ibu prita. Di saat
pemerintah sudah tak acuh menangani hukum di negeri sendiri maka muncullah
suara hati rakyat yang tergerak secara alamiah.
Ini tentunya merupakan pukulan telak
terhadap pemerintah utamanya DPR yang selalu mengusung statement “penyambung
aspirasi masyarakat” dimana perannya sudah dianggap pesimistis oleh rakyat
bahkan rating tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah kalah jauh di
bawah KPK yang kinerjanya lebih banyak membuahkan hasil yang memuaskan rakyat
yang haus akan keadilan.
Statement di atas bukanlah isapan
jempo semata. Hal ini terbukti dari effort KPK yang berhasil membongkar kasus
korupsi dan membuang para tersangka ke dalam jeruji besi. Tidak tanggung
tanggung bahwa uang Negara yang berhasil di usut tuntas dari setiap kasus sudah
tak terhitung lagi jumlahnya, nah ada hasil kan? Tentu kita sebagai mahluk
berlogika sudah jelas mengatakan ada hasil.
Dan sekarang mari kita bandingkan dengan kegiatan
yang selama ini rutin terjadi di kalangan pemerintahan terutama DPR. Kali ini
main topic akan mengarah pada “Study Banding ke Luar Negeri”. Para pembaca
sudah sering mendengar pernyataan yang mengaung di telinga anda tentang
keberangkatan para anggota dewan ke luar negeri. Dari segi kontekstualnya study
banding berarti belajar dan membandingkan situasi dan kondisi yang ada di
Negara sang visitor dengan Negara yang dituju. Sekilas memang pada titik ini
pada awalnya kita akan beranggapan akan ada perubahan besar setelah study ini
selesai. Namun kenyataan sungguh di luar dugaan terkait temuan dari berbagai
kalangan, dimulai dari dana yang dikucurkan tidak tanggung tangung mencapai
ratusan bahkan miliaran rupiah dan juga tindak tanduk para utusan yang tidak
sesuai dengan kewajiban yang dibebankan misalnya porsi waktu untuk study
seharusnya lebih banyak dan lebih focus pada inti permasalahan akan tetapi malah
menjadi pilihan kedua setelah pilihan pertama yaitu travelling. Belum lagi
setelah kembali dari dari tugas mulia tersebut, tidak ada konferensi pers, tindak
lanjut dari study bahkan pelaporan kepada rakyat yang menaruh harapan besar
kepada mereka terhadap apa hasil yang telah mereka teliti di luar negeri.
Silahkan pembaca menjawab sendiri, apakah ada hasil nyata dari study banding
anggota DPR?
Dari fenomena tersebut, saya dapat menyimpulkan
bahwa “tindakan nyata dan signifikan lah yang dapat merengkuh tindakan
partisipatif publik”. Dalam kasus ini KPK tentu lebih unggul dari segi
partisipatif public daripada DPR. Secara nyata dapat terlihat dari suara kecil dari
perkumpulan PKL yang ikut mendeklarasikan diri membantu realisasi gedung baru
KPK mengatakan bahwa “Dari hati rakyat kecil kami ingin membantu KPK untuk
menyelamatkan Indonesia di masa depan”. Ada yang unik dari hal tersebut yaitu
keselamatan Negara sudah disandarkan kepada KPK dan bukan lagi kepada
pemerintah dan wajar jika kita bertanya bahwa peran pemerintah di mata
masyarakat apakah sudah tidak berarti lagi? Wallahu a’lam.
Medan perang perpolitikan di antara keduanya
sepertinya lebih menguntungkan KPK dan di sisi lain kredibilitas institusi
pemerintah yang mulai menurun ditambah lagi dengan semakin digantungnya
pengadaan gedung baru KPK yang sedari tahun 2008 telah diusulkan pengadaannya
namun 4 tahun telah berlalu akan tetapi belum ada keputusan dari komisi III DPR.
Sangat jelas bahwa situasi ini membuat posisi pemerintah terhadap kepercayaan
masyarakat berada di ujung tanduk. Untuk memperbaiki situasi ini pemerintah
tidak punya pilihan lain selain mengetuk palu pertanda pengadaan gedung baru
KPK siap terealisasi dan semoga pengucuran dana selanjutnya pemerintah lebih
focus pada peningkatan SDM dan infrastruktur Negara yang lebih membutuhkan baik
yang terikat maupun independen. Kita juga sangat berharap adanya kesadaran dari
setiap pemegang tampuk kekuasaan untuk tetap mendahulukan kewajibannya sebagai
wakil rakyat untuk Indonesia yang lebih baik.