Selasa, 02 Oktober 2012

Suara Sumbang


Selamat pagi dunia
Kata kata yang sering ku ucapkan di awal ku terbangun dalam tidurku. Segera ku ambil air wudhu untuk melaksanakan kewajibanku sebagai seorang muslim walaupun dalam kesehariannya masih agak bolong bolong dalam pelaksanaannya, maklumlah baru 1 minggu ini habis dapat pencerahan entah dari mana. Selesai shalat kuperhatikan berbagai macam hal hal yang menempel di sudut rumahku yang sederhana dan tersenyum seraya berdoa “ ya allah terima kasih atas anugerah dan keluarga yang engkau berikan kepadaku. Jagalah mereka di setiap bangun dan tidurnya dan di setiap perjalanan hidupnya. Amin”. Sembari kututupkan tangan pada wajahku tanda sebagai pengakhiran doa ku.
Seperti biasa tiap pagi merupakan hari rapat nasional eitts bukan berarti rapat yang dilakukan seperti yang ada dalam persepsi banyak manusia namun yang ku maksud adalah pembicaraan secara kecil kecilan sambil menikmati teh hangat dan gorengan buatan etta1ku (ibu) belum lagi kedua saudariku yang imut saling bergantian berkejaran membuat pagi hari makin gaduh namun tetta2 (ayah) tidak terlalu menghiraukannya bahkan malah terfokus pada televisi layar 21 inch di depannya yang memuat berita berita yang itu itu saja. Perampokan, pencurian, kerusuhan, pembunuhan bahkan korupsi. Seringkali ku berkomentar kenapa pemberitaan cuman itu terus, yah walaupun saya bukan pengamat criminal tapi malah saya merasa pemberitaan seperti itu malah menambah intensitas orang lain untuk berbuat hal yang sama.
Seringkali ku berdebat dengan tettaku jika ada persoalan di media yang agak pelik. Dia menganggap bahwa persoalan khusus seperti korupsi maupun terorisme merupakan kesalahan dari individu itu sendiri namun saya juga kukuh mengatakan kalau itu bersumber dari sistem yang terjadi di pemerintahan, hemm sebenarnya inti akhirnya tetap sama sih karena dari sistem itu sehingga mempengaruhi individu untuk berbuat miring namun  entah kenapa didorong oleh ego masing masing membuat kami tidak ada yang mengalah.
………………………………………………….
Lega…. Desahan yang kulakukan setelah meneguk segelas es teh yang terhidang di depanku, sungguh nikmat apalagi diminum pas dalam suasana tubuh penuh peluh dan keringat sehabis dari ladang persawahan memanen padi secara manual. Yaa manual cuman itu yang setidaknya kami lakukan untuk menyelamatkan lahan kami dari kerusakan karena bos dari pihak mobil passangki3 (mobil pengolah padi menjadi gabah) tidak memperkenankannya untuk mengerjakan sawah kami, ya Tuan Eris itulah namanya dan itu terjadi karena tettaku tidak ingin tunduk pada kebijakan sepihak yang langsung diambil oleh dia karena tettaku dengan tegas melawan kesewenang wenangan itu. Memang yang mengatur pengairan adalah Tuan Eris dan konco konconya namun keluargaku juga membuat sebuah pompa untuk pengairan yang digunakan untuk mengairi sawah kami dan sawah H. Edu’. Makanya itu keluarga kami berdua begitu di benci oleh tuan takur tersebut.
Peristiwa itu awalnya terjadi ketika masa panen dua tahun sebelumnya. Pada saat itu gabah 1 karung dari lahan kami di ambil secara langsung dengan dalih sebagai bayaran dari pengairan pompa nya tapi kami merasa tidak sesuai karena pengairan yang masuk ke ladang kami Cuma terjadi sekali karena tettaku langsung mengambil inisiatif untuk membeli pompa sendiri dengan harapan hal tersebut tidak terulang untuk kedua kalinya dan gayung pun tidak bersambut sekali lagi pada panen selanjutnya gabah sekarung pun di ambil dengan alasan yang sama tapi yah maklulah sebagai orang kecil keluarga kami tidak bisa apa apa selain hanya tetap mempertahankan harga diri dengan tidak lagi berurusan dalam hal apapun dengan dia.
Memang sudah jadi rahasia umum bahwa perangai tuan takur yang biasa di bilang penguasa di kampungku ini menjadi sangat terkenal namun didiamkan aja karena efek rasa takut atau penghambaan kalangan kelas bawah kepada kalangan berada. Hahaha seringkali kutertawa sendiri memikirkan bahwa sistem monopoli usaha dan social malah terjadi di kampungku sendiri tanpa bisa kutentang sama sekali bahkan hal seperti ini sering kuperjuangkan di ibukota sebagai mahasiswa. Sebagai masyarakat yang setidaknya rata rata memiliki rasio tingkat pendidikan yang tinggi namun kritisisme social masih dimiliki oleh segelintir orang saja.
Persoalan ini walaupun pelik namun tidak terlalu diambil pusing karena teringat akan kata kata teman tetta bahwa jika hal tersebut terus dipermasalahkan maka hanya akan menjadi duri dalam daging yaitu menjadi persoalan yang tiada henti hentinya. Bukankah falsafah manusia itu adalah berusaha untuk berkembang dan terus berkembang ke arah yang lebih baik dan sebaiknya isi diri dengan berbagai aktivitas yang bermanfaat. Pesan moral yang saya kira cukup mengubah hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar